tentang POKERJINGGA

POKERJINGGA adalah Agen Poker Dan Domino Online Terpercaya no 1 di indonesia, 100% MEMBER vs MEMBER NO ROBOT dan tanpa ADMIN yang ikut bermain Ayoo segera bergabung bersama kami di POKERJINGGA Agen Poker Dan Domino Online Terpercaya ! Kami online 24 jam setiap hari non stop dengan CS yang super ramah dan berpengalaman
Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Wednesday, August 5, 2015

Korupsi, riwayatmu sejak dulu


Poker Jingga - "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut. Lelaki hebat kebanyakan pria buru". Kata-kata politikus, penulis, dan sejarawan Inggris, Sir John Emerich Edward Dalberg-Acton, itu memang pedas. Dia menyatakannya lebih dari seratus tahun lalu, tetapi tamparannya terasa hingga saat ini.

Ada pendapat mengatakan niat korupsi mulai muncul saat interaksi sosial. Baik antar individu maupun dengan masyarakat. Apalagi ketika struktur masyarakat semakin rumit, maka korupsi juga berkembang melalui proses. Dia sulit ditumpas habis, tapi hanya bisa diperangi. Maka dari itu perilaku ini seolah kekal sepanjang masa.

Bila ditarik ke dalam lingkup Indonesia, perilaku lancung itu sudah terjadi sejak masa kerajaan. Motifnya macam-macam. Mulai dari hasrat penguasaan akan harta, tahta, atau wanita. Setelah tatanan masyarakat tersusun lebih rumit, dengan penggolongan seperti sistem kasta, maka muncul sikap oportunisme. Kerap dikenal dengan istilah aji mumpung. Mumpung bisa diakali, kenapa tidak, begitu kira-kira.

Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, oportunisme adalah tindakan bijaksana yang dipandu terutama oleh motivasi mementingkan diri sendiri. Istilah ini dapat diterapkan untuk individu, kelompok, organisasi, gaya, perilaku, dan tren.

Di masa kerajaan, perbuatan seperti ini sudah mewabah. Praktik awalnya adalah manipulasi upeti. Rakyat yang enggan menyisihkan hasil tanahnya terlampau banyak buat kepala daerahnya mulai bersiasat. Mereka melobi para penagih supaya mau memangkas nilai upeti diberikan, tetapi dalam laporan jumlahnya ditulis berbeda. Imbalannya adalah mereka menerima sejumlah harta.

Modus ini juga dipakai para kepala daerah. Bahkan kadang mereka menindas rakyatnya dengan mengatakan upeti dipatok kerajaan naik. Padahal, setelah diterima, mereka menggelapkan sebagian upeti mesti disetorkan kepada penguasa tertinggi dengan bermacam dalih. Paceklik lah, diganggu bandit, dan lain sebagainya.

Di tingkat kerajaan pun sama saja. Upeti diterima kadang terlebih dulu disunat oleh abdi dalem dan para patih korup. Hasilnya pun kadang hal itu bukan dipakai membangun daerah kekuasaan buat mensejahterakan rakyat, tetapi kebanyakan baut foya-foya. Karena hal itu, beberapa kerajaan besar di Nusantara tumbang lantaran intrik di dalam. Saling bunuh demi kekuasaan dan harta. Bahkan, perbuatan buruk itu juga tercantum dalam cerita dan prasasti-prasasti.

Hal itu dipaparkan pakar Epigrafi, Djoko Dwiyanto, yang beberapa kali menerjemahkan prasasti berisi tentang korupsi. Salah satunya tercatat dalam prasasti Rumwiga, ditemukan pada 1992. Menurut Djoko, dalam prasasti Rumwiga diceritakan tentang penyimpangan pajak oleh petugas pajak dan pemberi pajak.

"Ada penyimpangan pajak karena tidak sesuai ketentuan. Misalnya pajaknya 100, dibayarkan 80, yang 20 digunakan untuk menjamu petugas pajak. Jadi semacam suap. Ada juga prasasti Palepangan yang juga isinya soal korupsi," kata Djoko di Yogyakarta, kemarin.

Tidak hanya menjelaskan soal korupsi penyimpangan pajak, dalam prasasti lain, seperti di prasasti Sumundul dan Panenggaran, juga dijelaskan tentang hukuman bagi para pengemplang pajak.

"Di Sumundul dan Panenggaran, malah ada hukuman bagi yang tidak membayar pajak," tambah Djoko.

Sementara itu, Kepala Seksi Perlindungan dan Pelestarian BPCB Daerah Istimewa Yogyakarta, Wahyu Astuti mengatakan, dalam prasasti Sumundul dan Panenggaran, orang yang tidak membayar pajak dihukum tidak sendiri, melainkan hingga anak cucunya.

"Kalau sekarang korupsi dihukumnya ringan. Kalau dulu itu, tidak membayar pajak saja yang dihukum sampai anak cucu. Jadi lebih tegas," kata Wahyu.

Setelah kekuatan asing datang menjelajah dan menjajah Nusantara, perilaku rasuah tidak hilang, tapi mencari jalannya. Dengan paham feodalisme, perbuatan kotor itu tetap merasuk hingga para pegawai negeri. Dengan pandangan dibangun kalau pejabat adalah terhormat dan mesti dilayani, praktik penindasan dan penghisapan rakyat semakin mulus dilakukan.

Kongsi dagang Hindia Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie, berdiri pada 20 Maret 1602 juga sama buruknya. Perilaku sogok, korup, manipulasi menjadi makanan sehari-hari mereka. Toh akhirnya kompeni, karena orang masa itu sulit mengeja kata Compagnie, runtuh juga. Bahkan singkatan VOC dipelesetkan sebagai Vergaan Onder Corruptie (runtuh karena korupsi).

Saat Jepang menyerbu dan menduduki Hindia Belanda pun sama saja. Lelaku korupsi tetap hidup dengan jalan lain. Pun ketika Indonesia memerdekakan diri dengan membacakan Proklamasi Kemerdekaan, korupsi tak mau ketinggalan merayakan suka cita dengan caranya. Dia tetap ada menemani kita.

Pemerintahan Ir. Soekarno dalam masa Orde Lama sampai Soeharto menjabat selama 32 tahun pada zaman Orde Baru, korupsi selalu ada. Berbagai upaya dilakukan memeranginya, tetapi rasuah tetap berdiri tegak. Era reformasi menjelang sampai saat ini, 'makhluk' itu tetap setia di samping kita, begitu juga para penentangnya.

No comments:

Post a Comment